🍾 Cerpen Patung Karya Seno Gumira Ajidarma
Seno Gumira Ajidarma (lahir di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958; umur 57 tahun) [2]adalah penulis dari generasi baru di sastra Indonesia. Beberapa buku karyanya adalah Atas Nama Malam, WisanggeniSang Buronan, Sepotong Senja untuk Pacarku, Biola tak berdawai, Kitab Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dan Negeri Senja.
C. Unsur Intrinsik. Selanjutnya kita akan membahas unsur intrinsik pada cerpen "Clara" yang meliputi : Tema, alur, latar, sudut pandang, penokohan, gaya bahasa, dan amanat. 1. Tema. Cerpen yang dikarang oleh Seno Gumira Ajidarma ini mengangkat tema permasalahan diskriminasi etnis yang pernah terjadi di Indonesia.
Makalah ini berisi analisis salah satu cerpen karya Seno Gumira Ajidarma berjudul "Clara Atawa Wanita Yang Diperkosa". Melalui pendekatan Strukturalisme Genetik, makalah ini disajikan dalam beberapa bab yang disusun oleh saya dan kawan perkuliahan saya. Makalah ini juga dengan gotong royong disusun dalam rangka mata kuliah Teori Sastra di Prodi
Ditulis oleh Seno Gumira Ajidarma, penulis cerita pendek yang mendapat South East Asia (SEA) Write Award 1997 dari Kerajaan Thailand, Penghargaan Penulisan Karya Sastra 1997 (Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi), dan Hadiah Sastra 1997 (Negeri Kabut). Kumpulan cerpen Seno Gumira Ajidarma ini banyak bercerita tentang malam. Bagi kita, kata
Seno Gumira Ajidarma. 3.79. 410 ratings42 reviews. Daftar Isi: 1. "Kematian Paman Gober", harian Republika, 30 Oktober 1994, sebagai "Paman Gober". 2. "Dongeng Sebelum Tidur", harian Kompas, 22 Januari 1995. Dimuat kembali dalam Pistol Perdamaian (Cerpen Pilihan Kompas 1996); diterjemahkan kedalam bahasi Inggris sebagai Bed time
Untuk memenuhi Tugas Akhir Semester Mata kuliah Apresiasi Kajian DramaDini Aryani_ V A_ UAS AKD Video Peran Ganda#Cerpenpatung #Seno Gumira Ajidarma
Judul: Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi. Karya : Gusmel Riyadh diadaptasi dari Cerpen Seno Gumira Ajidarma. Produksi: UKM Teater Kampus Seribu Jendela Undiksha Singaraja. Sutradara : Rohmat Romadhan. Pemain : Gian sebagi Suz, Rama sebagai Pak RT, Afi sebagai Hansip, Dodi dan Catur sebagai Bapak-bapak, Vina, Widia, Isma, Nanda, dan Nopti sebagai
Analisiscerpen saksi mata karya seno gumira ajidarma merupakan salah satu tugas mata kuliah sastra populer. Jual beli sastra cerpen macan seno gumira ajidarma. Lanjutkan baca artikel ini dan artikel lainnya dengan daftar akun kompas.id. Source: www.kompasiana.com. Pemberian penghargaan dilakukan dalam acara anugerah cerpen kompas yang digelar
4 likes, 0 comments - tualangtualang on November 3, 2023: ": SENO GUMIRA AJIDARMA - Saksi Mata = Rp.60.000 Penerbit: Pabrik Tulisan Cetakan Pertama, 2021" TUALANGBUKU on Instagram: ": SENO GUMIRA AJIDARMA - Saksi Mata = Rp.60.000 Penerbit: Pabrik Tulisan Cetakan Pertama, 2021 Tebal: 164 Halaman DESKRIPSI BUKU: Jika konteks Insiden Dili
Meskiceritanya pendek, sebuah cerpen yang. Source: www.researchgate.net. Meski ceritanya pendek, sebuah cerpen yang. Cintaku jauh di komodo (seno gumira ajidarma) berikut ini naskah cerpen cintaku jauh di komodo karya seno gumira ajidarma yang saya salin sesuai dengan naskah aslinya yang dimuat di harian kompas bulan agustus tahun 2003.
Cerpen Seno Gumira Ajidarma (Kompas, 05 Januari 1992) PELAJARAN mengarang sudah dimulai. "Kalian punya waktu 60 menit," ujar Ibu Guru Tati. Anak-anak kelas V menulis dengan kepala hampir menyentuh meja. Ibu Guru Tati menawarkan tiga judul yang ditulisnya di papan putih. Judul pertama, Keluarga Kami yang Berbahagia.
Cerpen Macan karya Seno Gumira Ajidarma dipilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2020. Keempat, yang paling menggairahkan dalam penciptaan cerpen Seno justru pada bagian "ngawur". Saya memaknai diksi "ngawur" yang diucapkannya itu sebagai bagian ketika fantasi mengarahkannya untuk melakukan defamiliarisasi dan dekonstruksi struktur narasi.
fwTUF. Membuat Patung dari Bubur Kertas. Foto kamu bahwa seni patung merupakan jenis karya seni rupa yang sudah cukup lama dikenal di Indonesia? Seni patung di Indonesia memiliki corak dan perwujudan yang berbeda-beda tergantung bentuk perwujudan yang ingin membuat sebuah patung, seorang seniman dapat menggunakan berbagai teknik bergantung pada bahan dan keahlian yang dimilikinya, seperti teknik mengecor, teknik modeling/membutsir, teknik konstruktif menempel, dan teknik pahat. Dikutip dari buku Pembelajaran Seni Rupa di SD yang ditulis oleh Yunisrul 2020 67, tema yang akan diambil untuk membuat objek patung juga bisa bermacam-macam, seperti tema makhluk hidup, tumbuh-tumbuhan, atau objek lainnya yang artikel kali ini akan membahas lebih spesifik mengenai tutorial membuat patung dari bubur kertas dengan yang Harus Disiapkan jika Kita akan Membuat Patung dari Bubur Kertas?Membuat Patung dari Bubur Kertas. Foto ingin membuat patung dari bubur kertas, bahan yang harus disiapkan adalah kertas, bubur tapioka atau lem, dan air. Dikutip dari buku Seni Budaya untuk Kelas XII Sekolah Menengah Atas yang ditulis oleh Harry Sulastianto, dkk 2008 67, pembuatan patung dari bahan lunak atau lembek, seperti bubur kertas disebut membutsir. Cara mengolah bubur kertas dapat melalui beberapa tahapan, yaituKertas direndam sampai lunak dihancurkan dengan cara ditumbuk atau hancur, kertas diberi campuran tepung tapioka secukupnya sebagai akhir adalah membentuk bubur kerta sesuai dengan tema yang kita sudah mengering, bubur kertas yang awalnya merupakan bahan lunak akan menjadi benda keras ketika kita dalam membuat patung tergantung kepada rancangan yang kita buat. Begitulah konsep seni modern, yang mana seni patung dapat dirancang berupa gambar proyeksi atau gambar perspektif. Menggambar proyeksi dapat dilakukan dengan membuat sketsa. Gambar sketsa adalah gambar goresan sederhana berupa gambaran kasar yang mencerminkan angan-angan jawaban dari pertanyaan “Apa yang harus disiapkan jika kita akan membuat patung dari bubur kertas?”. Semoga informasi ini bermanfaat! CHL
PATUNG Rekayasa teks cerpen karya Seno Gumira Ajidarma Oleh Finda Rhosyana Seorang nenek berkata kepada cucunya, sambil menunjuk patung. Nenek Lihatlah patung itu, dulunya dia adalah manusia. Ia begitu bodoh, berdiri terus disitu, menunggu kekasihnya sampai menjadi patung. Sang gadis menggandeng neneknya dengan hati-hati. Agaknya nenek itu sengaja membawa gadis manis cucunya itu kesini untuk memberinya pelajaran. Nenek Jangan pernah engkau sudi menunggu kekasih yang meninggalkanmu tanpa kepastian untuk kembali. Nanti engkau juga akan menjadi patung seperti dia. Gadis Memandang takjub ke arah patung Tapi nek, bukankah itu berarti dia sangat setia? Nenek Itu bukan setia namanya. Itu bodoh. Gadis Katanya kalau kita mencintai seseorang, kita harus setia kepadanya. Nenek menatap cucunya dengan tajam Cinta itu ada dua. Yang pertama cinta buta. Yang kedua cinta pakai Otak. Yang pertama biasanya membuat kita menderita. Yang kedua biasanya membuat kita selamat. Cinta orang bodoh itu termasuk cinta buta. Sudi amat dia menunggu kekasihnya ditempat ini sampai menjadi patung. Gadis Tapi barangkali dia bahagia nek. Nenek sambil melengos dan melangkah pergi Aku tidak tahu, apakah orang yang menunggu selama dua ratus tahun masih bisa bahagia. Apalagi sampai jadi patung. Patung melihat mereka pergi menjauh. Patung ingin mengatakan sesuatu kepada mereka. Tapi dia tahu bahwa dia adalah patung. Yang tertinggal hanyalah jasad dan pikirannya. Menatap ke satu arah seperti saat dua ratus tahun yang lalu, saat terakhir perbincangan dirinya denga sang kekasih. Akang Kamu mau kemana, sayang? Perempuan Tunggulah disini, aku pergi sebentar saja. Akang Ke mana? Perempuan Sebentar. Akang Mau ngapain? Perempuan Aku pergi cuma sebentar, tunggulah disini, aku segera kembali setelah iblis itu mati. Akang Jadi adinda akan pergi memburu iblis, begitu? Perempuan Ya, aku harus membunuhnya, setelah itu aku baru bisa pacaran dengan tenang. apakah kamu akan menungguku sayang? Sang pria tidak menjawab, namun perempuan itu tahu bahwa kekasihnya akan menunggunya sampai mati. Pria itu terus menerus berdiri di tempat itu menunggu senja tiba seperti yang dijanjikan orang yang sangat dicintainya itu. Perempuan Aku tidak akan terlalu lama, aku akan muncul di ujung jalan itu ketika senja. Aku akan muncul ketika matahari yang jingga dan membara turun di antara dua gunung itu. Dikau akan melihatku sebagai siluet. Muncul sebagai bayang-bayang hitam berambut panjang yang berlari menujumu. Tunggulah aku disini, di luar desa ini, aku akan muncul di ujung jalan itu menenteng kepala iblis sebagai hadiah untuk perkawinan kita. Sang pria hanya bisa terdiam melihat kekasihnya pergi menuju senja. Sang pria terus menunggu berharap bayang-bayang hitam berambut panjang muncul berlari ke arahnya. Orang-orang desa yang lewat menuju ke sawah dengan santun selalu bertanya. Petani Janjian nih? Akang Iya mang. Petani Ke mana sih dia? Akang Pergi sebentar mau membunuh iblis. Petani Aduh jang, Iblis mah kagak bisa dibunuh. Akang Biarinlah mang, sudah maunya begitu. Petani Jadi mau menunggu terus nih? Akang Iya mang, namanya juga pacar. Petani Bagus Jang, tunggu saja, namanya juga pacar, katanya kapan kembali? Akang Katanya sih setelah senja tiba. Petani Senja kapan? Akang Senja setelah iblis itu dibunuh. Petani Oh ya sudah kalau begitu. Permisi ya. Sambil tertawa kecil Akang Iya mang. Sang pria tetap setia menunggu meski orang-orang desa yang lewat selalu tertawa kecil dari kejauhan, walaupun begitu sang pria selalu bisa mendengarnya. Semakin lama sang pria terbiasa dengan itu. Orang 1 Kenapa orang itu? Orang 2 Oh, dia orang yang sedang menunggu kekasihnya. Orang 1 Memangnya kemana kekasihnya itu? Orang 2 katanya pergi untuk membunuh iblis. Orang 1 Jadi dia menunggu kekasihnya? Orang 2 Iya. Orang 1 Dan kekasihnya itu baru akan pulang setelah membunuh iblis? Orang 2 Iya. Orang 1 Kasihan. Orang 2 Kok kasihan? Orang 1 Barangkali kekasihnya sudah kawin sama orang lain. Dua ratus tahun sudah pria itu berdiri menatap senja di tempat yang sama demi menunggu kekasih hatinya kembali. Orang 3 Hei lihat, patung itu menatap senja. Orang 4 Ya, Kata orang-orang tua desa ini, patung itu dulunya orang betulan. Orang 3 Orang betulan? Orang 4 Ya, Orang betulan yang berdiri disitu, menunggu kekasihnya yang pergi untuk membunuh iblis. Orang 3 Membunuh Iblis? Orang 4 Iya. Orang 3 Sedangkan sampai sekarang pun iblis tidak mati-mati. Orang 4 Lha iya, konyol betul orang itu. Barangkali kekasihnya itupun sudah mati sekarang. Lha wong iblis masih berkeliaran. Orang 3 Ya, begitulah, tapi orang ini pokoknya menunggu. Orang 4 Orang itu patung ini? Orang 3 Iya, patung ini. Orang 4 Jangan-jangan dia mendengar kita. Sang pria mendengar segalanya, dia mendengar desanya tumbuh menjadi kota, sawah-sawah berubah menjadi pasar. Dan di belakang pasar itu tumbuh gedung-gedung yang megah. Jalanan setapak di depannya kini beraspal. Hanya tinggal dia dan pohon beringin yang masih tertinggal dari masa lalu. Pria itu terus menerus menatap kedepan menunggu seorang wanita yang indah muncul pada suatu senja sambil menenteng kepala iblis. Masuk petugas membawa papan bertuliskan tentang sang pria yang telah menjadi patung. Setelah itu, banyak orang yang berfoto ria dengan sang pria yang telah menjadi patung tersebut. Pemuda Lihatlah patung ini, Dia orang yang menunggu kekasihnya sampai jadi patung. Gadis Aku tahu, ibuku yang cerita. Pemuda Kamu bisa seperti dia? Gadis Maksudmu? Pemuda Bisa menunggu aku sampai aku kembali? Gadis Aku selalu setia padamu, kapan kamu kembali? Pemuda Kalau tugasku sudah selesai. Gadis Apa tugasmu? Pemuda Membunuh Iblis. Gadis Tapi iblis tidak pernah mati! Penuda Aku tidak peduli. Harus selalu ada orang yang membunuh iblis, meskipun iblis tidak akan pernah mati. Aku mencintaimu, tunggulah aku! Terdengar peluit kereta api. Mereka berpelukan dan berciuman. Lantas lelaki itu memasuki stasiun. Terlihat gadis itu melambai-lambaikan tangan. Esoknya gadis itu datang lagi. Duduk dibangku yang ada dihadapan patung sambil meberi makan burung-burung dara. Sebentar-sebentar sang gadis melihat jam tangannya. Gadis itu terus menunggu kekasihnya di bangku itu sampai jadi patung.
P A T U N G karya Seno Gumira A D Dua ratus tahun kemudian, seorang nenek berkata kepada cucunya, sambil menunjuk diriku. “Lihatlah orang bodoh itu,” katanya, “ia berdiri terus disitu, menunggu kekasihnya sampai menjadi patung.” Kulihat gadis disampingnya, menggandeng neneknya dengan hati-hati. Agaknya nenek itu sengaja membawa gadis manis cucunya itu kesini untuk memberinya pelajaran. “Jangan pernah engkau sudi menunggu kekasih yang meninggalkanmu tanpa kepastian untuk kembali. Nanti engkau juga akan menjadi patung seperti dia.” Gadis itu memandangku dengan takjub. Berbeda dengan pandangan neneknya yang penuh pelecehan. “Tapi nek, bukankah itu berarti dia sangat setia?” “Itu bukan setia namanya. Itu bodoh.” “Katanya kalau kita mencinai seseorang, kita harus setia kepadanya.” Nenek itu mengalihkan pandang dariku, menatap gadis itu dengan tajam. “Cinta itu ada dua. Yang pertama cinta buta. Yang kedua cinta pakai Otak. Yang pertama biasanya membuat kita menderita. Yang kedua biasanya membuat kita selamat.” Lantas nenek itu menuding kepadaku. “Cinta orang bodoh itu termasuk cinta buta. Sudi amat dia menunggu kekasihnya ditempat ini sampai menjadi patung.” Gadis itu masih menatapku dengan takjub. “Tapi barangkali dia bahagia nek.” Neneknya menjawab sambil melongos, dan melangkah pergi. “Aku tidak tahu, apakah orang yang menunggu selama dua ratus tahun masih bisa bahagia. Apalagi sampai jadi patung.” Aku melihat mereka pergi menjauh. Aku ingin mengatakan sesuatu kepada mereka. Tapi aku memang sudah menjadi patung. Seluruh tubuhku mulai dari ujung jari kaki sampai ujung rambutku telah menjadi batu. segenap urat syaraf, darah, kulit, usus, jantung dan paru-paru, apapun dari tubuhku telah menjadi batu, sehingga akupun menjadi patung. Aku tinggal pikiranku. Menatap ke satu arah tanpa bisa menoleh. Di arah itulah, di mana selama duaratus tahun aku menatap matahari turun perlahan-perlahan ke balik gunung, aku menunggu dia muncul seperti yang dia janjikan duaratus tahun yang lalu. “Kamu mau kemana, sayang?” “Tunggulah disini, aku pergi cuma sebentar.” “Ke mana?” “sebentar.” “Mau ngapain?” “Aku pergi cuma sebentar, tunggulah disini, aku segera kembali setelah iblis itu mati.” “Jadi dikau akan pergi memburu iblis, sayang?” “Ya, aku harus membunuhnya, setelah itu aku baru bisa pacaran dengan tenang. apakah kamu akan menunggu aku sayang?” Aku tidak menjawab, namun dia tahu aku akan menunggunya sampai mati. Aku terus menerus berdiri di tempat ini menunggu senja tiba seperti dijanjikannya. “Aku tidak akan terlalu lama, aku akan muncul di ujung jalan itu ketika senja. Aku akan muncul ketika matahari yang jingga dan membara turun di antara dua gunung itu. Dikau akan melihatku sebagai siluet. Muncul sebagai bayang-bayang hitam berambut panjang yang berlari menujumu. Tunggulah aku disini, di luar desa ini, aku akan muncul di ujung jalan itu menenteng kepala iblis sebagai hadiah untuk perkawinan kita.” Dia memang tahu segalanya. Hampir tiada hal yang tiada diketahuinya seperti dia tahu bahwa iblis sebetulnya tidak pernah mati. Pada saat itu pun aku tahu betapa aku akan terus menerus menunggui kedatanganya sampai mati. Namun barangkali inilah yang tidak pernah diketahuinya ternyata aku tidak mati-mati. Aku terus menerus menunggu dari senja ke senja sampai dua ratus tahun sampai lama-lama menjadi patung. aku terus menerus menanti dan mengharapkannya, siapa tahu dia muncul dari ujung jalan setapak itu sebagai siluet wanita berambut panjang yang menenteng kepala iblis. Orang-orang desa yang lewat menuju ke sawah dengan santun selalu bertanya. “Janjian nih?” “Iya mang.” “Ke mana sih dia?” “Pergi sebentar mau membunuh iblis.” “Aduh jang, Iblis mah kagak bisa dibunuh.” “Biarinlah mang, sudah maunya begitu.” “Jadi mau menunggu terus nih?” “Iya mang, namanya juga pacar.” “Bagus Jang, tunggu saja, namanya juga pacar, katanya kapan kembali?” “Katanya sih setelah senja tiba.” “Senja kapan?” “Senja setelah iblis itu dibunuh.” Orang-orang desa dengan santun menyimpan ketawanya sampai di kejauhan, meskipun aku selalu bisa mendengarnya. Lama-lama aku terbiasa. Dan lama-lama orang-orang desa pun tidak bertanya-tanya lagi. Semua orang tahu kenapa aku berdiri di pertigaan itu, menatap terus menerus ke arah cakarawala dimana matahari senja selalu tenggelam di utara dua gunung itu, seperti lukisan anak-anak sekolah dasar. “Kenapa orang itu?” “Oh, dia orang yang sedang menunggu kekasihnya.” “Memangnya kemana kekasihnya itu?” “katanya pergi untuk membunuh iblis.” “Jadi dia menunggu kekasihnya?” “Iya.” “Dan kekasihnya itu baru akan pulang setelah membunuh iblis?” “Iya.” “Kasihan,” “Kok kasihan?” “Barangkali kekasihnya sudah kawin sama orang lain.” *** Aku terus menerus berada di sana, di pertigaan di luar desa menghadap sawah membentang seperti permadani. Kemudian tumbuh pohon beringin di pertigaan itu. Akarnya membelit-belit badanku. Aku tidak bisa berkutik karena telah menjadi patung. Tiada yang bisa kulakukan selain menunggu. Hidup tidak memberiku banyak pilihan selain mencintai dia. Aku akan terus menerus menunggu dari senja ke senja. Lagi pula aku sungguh menyukai langit senja, membayangkan dia akan muncul dari balik cakarawala di latar belakangi langit ungu dengan mega-mega yang terpencar dalam semburat cahaya jingga yang membakar. Sudah dua ratus tahun aku menatap ke barat, sudah dua ratus tahun aku menatap senja demi senja yang gemilang dengan permainan warna dan cahaya. Menatap senja bagaikan menatap dirinya. Kubayangkan di balik cakrawala itu ia bertempur melawan iblis yang tidak akan pernah mati. Dengan pedang samurainya yang berkilat ia bagaikan menari-nari di tengah api jelmaan iblis yang berusaha membakar dan menghanguskannya. Segala hal bisa kubayangkan tentang apa saja yang mungkin terjadi dibalik cakrawala itu. Kenapa tidak? Semenjak menjadi patung, aku tinggal pikiran. Seluruh tubuhku membatu sehingga aku tidak bisa bergerak kemana-mana. Akar-akar pohon melilit tubuhku tanpa aku bisa berkutik. Pohon beringin tumbuh menjadi besar sehingga membuat tempatku berdiri mematung itu Banyak orang suka berteduh disini, menghindar dari terik panas matahari. Mereka menambatkan kuda atau kerbaunya ke tubuhku, lantas tidur di bawah pohon beringin. Mereka akan bangun setelah senja tiba. “Hei lihat, patung itu menatap senja.” “Ya, Kata orang-orang tua desa ini, patung itu dulunya orang betulan.” “Orang betulan?” “Ya, Orang betulan yang berdiri disitu, menunggu kekasihnya yang pergi untuk membunuh iblis.” “Membunuh Iblis?” “Iya.” “Sedangkan sampai sekarang pun iblis tidak mati-mati.” “Lha iya, konyol betul orang itu. Barangkali kekasihnya itupun sudah mati sekarang. Lha wong iblis masih berkeliaran.” “Ya, begitulah, tapi orang ini pokoknya menunggu.” “Orang itu patung ini?” “Iya, patung ini” “Jangan-jangan dia mendengar kita.” Aku memang mendengarnya. Aku mendengar segalanya tumbuh. aku mendengar burung berkicau diatas kepalaku. Aku mendengar desis ular merayap diantara akar-akar yang mebelit kakiku. Aku mendengar desaku tumbuh menjadi kota, sawah-sawah berubah menjadi pasar. Dan di belakang pasar itu tumbuh gedung-gedung yang megah. Matahari senja yang turun selalu terjepit diantara gedung-gedung bertingkat itu. Jalanan setapak di depanku kini beraspal, dan diujungnya bersambung dengan jalan tol. Hanya tinggal aku dan pohon beringin yang masih tertinggal dari masa lalu. Muncul jalan kereta api entah darimana, dan dibelakang punggungku nampaknya dibangun stasiun. Aku hanya mengira-ngira karena aku tidak bisa menoleh. Tapi kulihat orang-orang menggendong ransel, menyeret kopor dan berjalan tergesa-gesa karena takut terlambat. Dunia telah menjadi tempat yang sangat riuh. Aku terus menerus menatap kedepan menunggu seorang wanita yang indah muncul pada suatu senja sambil menenteng kepala iblis. Kemudian para petugas dari kotapraja membuat pagar disekeliling pohon beringin itu. Mereka menancapkan sebuah papan didekat pagar bertuliskan keterangan tentang diriku. Di dalam stasiun, kios-kios koran dan majalah juga menjual buku kecil yang menceritakan riwayat hidupku. Sambil menunggu kereta api orang-orang suka melewatkan waktu memandangku. Mereka mengeja keterangan dipapan itu, atau membaca buku kecil yang dijual murah itu sambil menatap diriku. Ada yang menggeleng-gelengkan kepala, ada yang mengangkat bahu, ada yang bibirnya mencibir. Banyak juga yang senang berfoto-foto dengan latar belakang aku. Pasangan-pasangan berpelukan didepanku, minta tolong kepada orang-orang yang lewat supaya dipotret. Rombongan turis juga suka bergerombol, berfoto bersama didepanku sambil tertawa-tawa. Pemandu mereka biasa berteriak-teriak lewat corong pengeras suara. “Inilah patung Lelaki Yang Menunggu Kekasihnya. Patung ini tidak dipahat oleh siapapun karena dia berasal dari manusia yang hidup. Duaratus tahun yang lalu ia berpisah ditempat ini dari kekasihnya, yang pergi untuk …” *** Suatu ketika kulihat gadis manis yang datang bersama neneknya itu, tapi kali ini ia datang bersama seorang lelaki yang nampaknya juga akan berpergian naik kereta api. “Lihatlah patung ini, ” ujar lelaki itu, “Dia orang yang menunggu kekasihnya sampai jadi patung.” “Aku tahu,” kata gadis itu, “nenekku yang cerita.” “Kamu bisa seperti dia?” “Maksudmu?” “Bisa menunggu aku sampai aku kembali?” “Aku selalu setia padamu, kapan kamu kembali?” “Kalau tugasku sudah selesai.” “Apa tugasmu?” “Membunuh Iblis.” “Tapi iblis tidak pernah mati!” “Aku tidak peduli. Harus selalu ada orang yang membunuh iblis, meskipun iblis tidak akan pernah mati.” Terdengar peluit kereta api. Mereka berpelukan dan berciuman. Lantas lelaki itu memasuki stasiun. Kulihat gadis itu melambai-lambaikan tangan. Esoknya dia datang lagi. Duduk dibangku yang ada dihadapanku sambil meberi makan burung-burung dara. Sebentar-sebentar dia melihat jam tangannya. Aku tahu, dia akan terus menunggu di bangku itu, sampai jadi patung.
cerpen patung karya seno gumira ajidarma